
KUTAI BARAT (Kaltim), SUDUTBERITA.com | Warga keluhkan Petinggi kampung Marimun, kecamatan Mook Manaar Bulatn kabupaten Kutai Barat, Dahlia Hartati yang jarang ada di tempat.
“Ibu petinggi ini jarang menetap di kampung sini pak,” keluh seorang pria warga RT 04 kampung Marimun yang enggan disebutkan namanya di kampung Linggang Marimun saat ditanya rumah petinggi oleh media ini. Sabtu 16/10/21 siang.
“Kadang-kadang bilang di Ngenyan, di Barong di Melak,” sambungnya.
Ironisnya setiap kali ada warga yang punya kepentingan mencoba menghubungi petinggi yang menjabat sejak tahun 2015 itu melalui sambungan telepon seluler pun juga tidak bisa tersambung.
Ketika awak media mencoba mengkonfirmasi keberadaan petinggi Dahlia yang tidak sedang berada di kampung keberbagai fihak, ada kesan ditutup-tutupi. Semisal seorang ibu pemilik warung didepan kantor petinggi menyebut tidak tahu.
“Saya jarang disini pak, ini baru datang dua hari ini dari Asa. Saya tinggal disana.” aku dia singkat yang belakangan diketahui dari warga ternyata yang bersangkutan adalah adik kandung petinggi Dahlia.
BACA JUGA : Warga Keluhkan Petinggi Marimun Jarang Ngantor, Camat Rusmansyah : Keluhan Masyarakat Itu Benar Adanya
Disamping jarang di tempat, Petinggi dari Kampung yang menjadi ring satu perusahaan tambang PT BSEM dan Perusahaan kayu Bekayan Jaya Abadi (BJA) itu juga dikeluhkan sebab sejak kepemimpinan Dahlia menjabat kepala kampung tahun 2017, tidak banyak pembangunan yang dilakukan.
Nampak akses jalan utama kampung belum terbangun secara baik, baru nampak ada pembangunan jalan semenisasi di depan kantor petinggi ke arah pemukiman penduduk sepanjang kurang sekitar 200 meter, dan lainnya dibangun di depan SD 009 Mook Manaar Bulatn yang lokasinya berbatasan dengan kampung Muara Kalaq kurang lebih sepanjang 100 meter.
Wargapun mengaku tidak banyak tahu soal pengelolaan Dana Desa (DD) maupun Alokasi Dana Kampung (ADK) karena warga tidak pernah dilibatkan.
“Yang jalan semenisasi ini tahun kemarin, cuma kami nda tahu ini berapa dananya.
Ini lebarnya aja ngga sampai 4 meter ini.
Terus yang 2019 di depan SD situ tapi udah rusak itu. Mana ada kami dipanggil rapat.” sebut seorang warga RT 04 yang didepan rumahnya sudah terbangun jalan semenisasi.
Begitu juga dengan program Corporate Social Responsibilty (CSR) dari perusahaan kayu maupun tambang.
“Untuk program CSR yang nampak bisa kelihatan hanya listrik sama air itu aja. Yang lain ngga ada. Bahkan itu dulu bantuan air minum yang dibangun ada tower tempat air itu kalau ngga salah dari perusahaan bukan pakai dana ADK,” sebut warga.
Dalam pantauan SUDUTBERITA.com di kampung Linggang Marimun memang tidak ada papan pengumuman soal Anggaran Pendapatan Dan Belanja Kampung (APB-Kam).
Didepan kantor desa hanya terpampang spanduk Musdes/RKP Tingkat Kampung.
Kemudian dibawah spanduk nampak masih ada papan informasi Program Pembangunan Pemberdayaan Masyarakat Desa (P3MD), yakni rehab kantor petinggi tahun 2018 dengan total biaya Rp 23.090.000.
Sedangkan dibelakang kantor ada sebuah bangunan gedung sarang wallet yang juga dibangun tahun 2018 menggunakan dana APBD sebesar Rp 42.315.000.

Ironinya jalan masuk ke kantor desa yang numpang di Gang Kamboja yang sempit dan tidak disemenisasi dengan gorong-gorong yang timbul karena tanah urugnya sudah terkikis dibawa air.
Nampak kantor tidak terurus dengan tempat parkir dan taman terkesan gersang dan berantakan.
Hal senada juga disampaikan Elensius, Sekretaris BPK, ia mengaku selain jarang ditempat dan sulit koordinasi, petinggi Dahlia juga tidak terbuka dengan warga maupun BPK soal pengelolaan dana desa.
Pertama soal papan informasi pembangunan atau APB-Kam. Menurutnya papan informasi terakhir kali dibuat tahun 2019. Namun dua tahun terakhir tidak lagi dipublikasikan melalui spanduk atau baliho di kantor desa.
“Karena keberadaan ibu itu memang sebentar ada dia di sini, nah setelah itu nanti ndak ada lagi.
Memang dia ndak jauh di seberang sana, cuma kami pak untuk mencari dia itu susah.
Yang tahu dia itu seperti adiknya itu (wanita pemilik warung depan kantor Petinggi), tapi mereka tidak kasih tahu ke kita. Mereka kan komunikasinya lancar aja.” akunya.
Ia juga mengeluhkan gaji anggota BPK di tahun 2021 ini baru dibayar 3 bulan dengan alasannya anggaran kampung banyak terpangkas untuk penanganan covid-19.
“Kalau saya bilang begini nanti saya takut juga istilahnya intervensi atau mengadu. Jadi 2020 memang ada perubahan anggaran, setelah ada covid itu anggaran yang kesini dialihkan,” ujarnya.
Tapi setahu saya sih ndak semuanya dialihkan mungkin cuma sekian persen aja, sehingga program itu tidak maksimal,” jelas Elensius di rumahnya RT 02 kepada awak media.
Dia menyebut sejak awal perencanaan sudah jarang melibatkan masyarakat. Informasi makin tertutup dalam dua tahun terakhir pasca pengalihan anggaran untuk penanganan covid-19.
Iapun semakin bingung saat melihat beberapa material yang menumpuk di pinggiran jalan untuk persiapan semenisasi.
“Jadi saya bingung juga Ibu itu kan ada melanjutkan semenisasi. Ada tumpukan koral yang kita lihat itu, kami tidak juga tanya sama dia tetapi kami lihat anggaran untuk lain itu tidak ada, tapi dia ada anggaran untuk semenisasi, beli kerikil, terus ada besi dan pasir,” paparnya.

Sedangkan pembagian bantuan langsung tunai (BLT) untuk warga kurang mampu dan masyarakat yang terpapar covid-19 juga tidak merata.
“Cuma yang kami tahu ada itu berapa persen (dipotong) dana covid saya lupa berapa itu 20% atau 8% dari nominal uang masuk di kampung. Jadi uang covid ini juga kalau untuk penerima BLT nya itu sudah sampai bulan 8 ini clear sudah meskipun ada keterlambatan.
“Cuma untuk masyarakat yang terpapar covid ada yang menerima bantuan sembako tapi ada juga yang nggak dapat, itu juga kita belum bisa memastikan dana-dana covid ini,” ujarnya.
Anggota BPK, kata dia juga sudah berusaha meminta penjelasan petinggi. Namun saat dihubungi melalui nomor hand phone juga tidak pernah nyambung.
Menurut Elensius kegiatan musrenbangkam dilaksanakan dan dihadiri pihak kecamatan, namun demikian pada saat pelaksanaan pembangunan hanya diketahui perangkat desa atau staf petinggi.
Sementara itu Nepotisme sangat terasa di kampung Linggang Marimun sebab staf petinggi didominasi keluarga dekat.
“Tapi untuk Kampung kami ini mereka (orang kecamatan) memang agak kaget, petingginya, sekretaris bendahara (keluarga semua). Sekretaris nya ini adiknya dia sendiri, bendaharanya ini keponakan dia anaknya ibu yang kita lihat ada warung depan kantor petinggi itu,” beber pria paruh baya itu.
Sedangkan pekerjaan proyek-proyek dana desa, menurut Sekretaris BPK itu ternyata tidak dikelolah secara swa Kelola oleh masyarakat tetapi diserahkan kepada pihak ketiga.
“Kalau di sini ini karena mereka tidak ada koordinasi, tidak ada tukar pendapat dengan kami, merasa mereka sebagai pengelolanya itu jadi mereka tidak melibatkan kami untuk berkoordinasi bagaimana cara kerjanya.
Jadi ada masyarakat ikut di situ tapi paling dua tiga orang, tenaga teknis nya itu maaf kita ngomong itu orang Jawa.
Bahkan itu yang di atas (semenisasi depan kantor desa) kalau nggak salah orang Balikpapan yang kerjakan jalan yang 2020. Kalau di 2019 semenisasi di ujung sana dari SD itu perbatasan dengan Muara Kalaq ada yang rusak itu 2019. Yang kerja itu orang dari Tering,” urainya.
Akibatnya nampak pekerjaan semenisasi dikerjakan asal-asalan tidak sesuai spek.
“Tapi kalau di sini bukan saja tidak rata tapi (tidak tebal). Pernah saya komplain kalau di bagian bagasting nya diukur tetap dia 20 cm tebal, tapi kalau sudah ke tengah itu rata-rata cuma 17 cm, ada juga yang di bawah. Ukuran besinya itu saya kurang tahu memang ada yang 8 mm ada yang 10 mm, ada yang kecil lagi,” ungkap dia.
Ketidakterbukaan Petinggi itu juga membuat masyarakat atau BPK semakin sulit mengawasi kinerja petinggi dan stafnya.

“Kalau dia tidak dilaksanakan kita bisa menanyakan kenapa kegiatan ini tidak berjalan. Karena kalau istilahnya mengklaim kita kan tidak bisa juga, kecuali masyarakat keberatan itu bisa kita mendampingi mereka koordinasi dengan pihak pemerintahan kampung supaya ini bisa terlaksana,” sebut dia.
Elensius bahkan menyebut ketidakjelasan pengelolaan dana desa di kampung Linggang Marimun telah mengundang perhatian Aparat Penegak Hukum (APH)
“Ada sedikit saya perhatikan bahasa polisi Tipikor kata beliau untuk Marimun mulai 2017-2020 ini katanya parah. Harus diambil putusan. Nah putusan ini yang kita tidak tahu keputusannya gimana,” sebut Elesius.
Bahkan ketidakjelasan pengelolaan dana desa saat penyampaian laporan pertanggungjawaban (LKPJ) Petinggi dan permintaan persetujuan pencairan dana desa ke kabupaten telah membuat BPK terpaksa menandatangani SPJ meski mereka tidak membaca detail isi SPJ.
“Bahkan mereka minta persetujuan misalnya pencairan dana desa dengan SPJ itu mereka (antar mendadak). Ndak mungkin kita bisa baca setebal ini. Nah mereka tunggu setidaknya itu kalau ada kita di kantor kan mereka bisa kasi kita supaya bisa kita pelajari, kita bisa baca-baca dulu rangkapnya, tapi ini ndak ada.
Dari dulu sebelum dia juga begitu. Jadi mereka bawa ini maaf mereka bilang oh kita ini terlambat, kalau tidak masuk hari ini ndak bisa cair lagi. Saya bilang kira-kira amankah? Ya bilang mereka aman lah. Yang benar saya bilang, soalnya tidak ada kesempatan baca kalau begini ndak ada kesempatan koreksi,” kesal Elensius.
BACA JUGA : Terkait Pelaksanaan DD/ADK Kampung Linggang Marimun, Inspektorat Kubar Telah Serahkan ke Polisi
Pernah juga kejadian ia terjebak ikut menadatangani dokumen persetujuan fee dari perusahaan batubara untuk masyarakat dan akhirnya BPK mencabut kembali tanda tangannya.
Ketika itu petinggi memaksa dirinya untuk menandatangani dokumen tanpa dibaca isi perjanjian. Belakangan warga protes lantaran uang fee yang mereka dapat tidak sesuai dengan periode sebelumnya.
Sebab sesuai kesepakatan, perusahaan akan bayar Rp 2000 per ton setiap kali angkut batubara. Namun jatah warga pemilik lahan berkurang. Kasus itu berujung didatangi aparat kepolisian.
“Karena saya nda baca dari atas itu kita baca ambil poinnya aja, jadi ndak lihat lampiran ini ada 2 surat yang dibuat. Baru dilihat sudah dijilid ada verifikasinya. Saya bilang terjebak kami pak kalau begitu, tapi saya panggil anak saya kasih lihatkan foto itu waktu tanda tangan nda ada dua lembar itu.
Jadi sudah dilihat, wah terjebak kami pak, tertipu ini kami. Kalau ada begini jujur aja saya tidak mau tanda tangan. Saya bilang saya cabut tanda tangannya. Setelah itu kami rapat terpaksa saya sampaikan ke masyarakat saya minta maaf karena ini kesalahan saya,” terangnya jengkel.
Sementara jumlah anggaran kampung anggota BPK hanya tahu jumlah totalnya. Sedangkan pengelolaannya dimonopoli petinggi.
“Untuk Marimun ini sih lumayan banyak kalau 1 Miliar itu pasti. Sudah 1 M lebih itu dengan ADK nya. Kalau tahun ini belum tahu kami pak,” ungkapnya.
Sementara itu Petinggi Marimun Dahlia Hartati maupun perangkat kampung yang dikonfirmasi awak media tidak satupun yang bisa dihubungi.
Penulis : Paul Buditomo
Editor : Redaksi
1 thought on “Jarang di Tempat dan Minimnya Pembangunan di Kampung, Petinggi Linggang Marimun Disorot Warga”